Pada zaman orde baru, istilah Jalan Cendana sangat tak asing di telinga masyarakat. Betapa tidak, di tempat itu keluarga besar Soeharto berkumpul. Bahkan, tak sedikit orang menyebut Jalan Cendana sudah seperti kerajaan. Namun, setelah Soeharto dilengserkan paksa dari jabatannya sebagai orang nomor satu di negeri ini, Jalan Cendana tidak lagi mencekam seperti dulu.
Terlebih, setelah Pak Harto pergi untuk selamanya. Rumah sederhana bercat hijau itu adalah tempat Soeharto dan Ibu Tien menghabiskan hari tuanya. Rumah yang terbilang biasa saja ini nampak dikelilingi sejumlah rumah mewah yang dihuni oleh anak dan cucu Soeharto.
“Pak Harto memang punya rumah di beberapa tempat. Tapi saat itu Pak Harto lebih sering tinggal disini bersama keluarga. Dibelakang rumah ini katanya ada jalan, tapi saya sendiri kurang tahu,” ujar seorang penjaga rumah, Abdul (50).
Rumah yang dulu tak henti-hentinya didatangi para pejabat tersebut kini sepi. Bahkan, setelah Pak Harto meninggal, kata Abdul, sudah tidak adalagi pejabat yang berkunjung. Padahal, di Jalan Cendana masih ada putra-putri Soeharto.
“Ya sekalipun Bapak sudah tak ada, tapi rumah ini tetap dijaga oleh 13 orang dari Yayasan At-Tin dan tujuh orang pensiunan Paspampres. Saya bangga bisa bekerja disini sekalipun hanya jaga rumah. Karena bekerja disini dulu diminati banyak orang,” tukas pria yang sudah mengabdi bersama Soeharto selama 25 tahun ini.
Sebagaimana diketahui, Jalan Cendana adalah potret keharmonisan keluarga Soeharto. Semasa berjaya di era Orde Baru, dia kerap menghabiskan waktu bersama istrinya Siti Hartinah (Ibu Tien) dan keenam buah hatinya Sigit Harjoyudanto, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut), Bambang Trihatmodjo, Siti Hediadi Hariyadi, Hutomo Mandala Putera (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).
27 Januari 2008 adalah saat terakhir rakyat Indonesia melihat jasad mantan Presiden Soeharto.
Dia dipanggil Sang Pencipta setelah lama berbaring di Rumah Sakit Pertamina akibat penyakit yang dideritanya. Namun percaya atau tidak, seorang penjaga rumah Soeharto di Jalan Cendana bernama Musa (69), mengaku sering didatangi sosok seperti Soeharto ketika malam hari. Peristiwa itu sudah terjadi berkali-kali pasca-Soeharto wafat.
“Bagi saya Bapak (Soeharto) itu masih ada. Kalau saya sedang nonton televisi maklam hari, suka ada yang lewat atau mencolek. Saya pun cuek saja,” ujar Musa saat berbincang di kediaman Soeharto, Jalan Cendana, Menteng, Jakarta belum lama ini.
Pria yang sudah mengabdi puluhan tahun menjadi tukang kebun di rumah Soeharto ini menambahkan, selama ini banyak pihak yang mendatangi rumah Soeharto hanya untuk sekadar memfoto. Bahkan ada juga yang bertanya-tanya seputar Soeharto layaknya wisatawan.
Di hati Musa, Soeharto adalah sosok yang sederhana tak tidak terlalu banyak aturan. Jika sedang berada di rumah, kata dia, Soeharto hanya mengenakan baju koko dan sarung saja. Kesederhanaan Soeharto pun tidak sebatas penampilan, tetapi juga tutur kata dan prilakunya.
“Jujur lebih enak zaman Soeharto daripada sekarang.
Waktu itu mencari kerja tak sulit, tak ada demonstrasi, harga-harga pun murah. Kalau sekarang semuanya tak jelas,” kenang Musa. Sebagaimana diketahui, Soeharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta pada 8 Juni 1921. Selama menjadi presiden, Soeharto banyak memberikan peninggalan kepada masyarakat salah satunya swasembada pangan. Soeharto wafat pada 27 januari 2008 dan dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, Jawa Tengah.
Terlebih, setelah Pak Harto pergi untuk selamanya. Rumah sederhana bercat hijau itu adalah tempat Soeharto dan Ibu Tien menghabiskan hari tuanya. Rumah yang terbilang biasa saja ini nampak dikelilingi sejumlah rumah mewah yang dihuni oleh anak dan cucu Soeharto.
“Pak Harto memang punya rumah di beberapa tempat. Tapi saat itu Pak Harto lebih sering tinggal disini bersama keluarga. Dibelakang rumah ini katanya ada jalan, tapi saya sendiri kurang tahu,” ujar seorang penjaga rumah, Abdul (50).
Rumah yang dulu tak henti-hentinya didatangi para pejabat tersebut kini sepi. Bahkan, setelah Pak Harto meninggal, kata Abdul, sudah tidak adalagi pejabat yang berkunjung. Padahal, di Jalan Cendana masih ada putra-putri Soeharto.
“Ya sekalipun Bapak sudah tak ada, tapi rumah ini tetap dijaga oleh 13 orang dari Yayasan At-Tin dan tujuh orang pensiunan Paspampres. Saya bangga bisa bekerja disini sekalipun hanya jaga rumah. Karena bekerja disini dulu diminati banyak orang,” tukas pria yang sudah mengabdi bersama Soeharto selama 25 tahun ini.
Sebagaimana diketahui, Jalan Cendana adalah potret keharmonisan keluarga Soeharto. Semasa berjaya di era Orde Baru, dia kerap menghabiskan waktu bersama istrinya Siti Hartinah (Ibu Tien) dan keenam buah hatinya Sigit Harjoyudanto, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut), Bambang Trihatmodjo, Siti Hediadi Hariyadi, Hutomo Mandala Putera (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).
27 Januari 2008 adalah saat terakhir rakyat Indonesia melihat jasad mantan Presiden Soeharto.
Dia dipanggil Sang Pencipta setelah lama berbaring di Rumah Sakit Pertamina akibat penyakit yang dideritanya. Namun percaya atau tidak, seorang penjaga rumah Soeharto di Jalan Cendana bernama Musa (69), mengaku sering didatangi sosok seperti Soeharto ketika malam hari. Peristiwa itu sudah terjadi berkali-kali pasca-Soeharto wafat.
“Bagi saya Bapak (Soeharto) itu masih ada. Kalau saya sedang nonton televisi maklam hari, suka ada yang lewat atau mencolek. Saya pun cuek saja,” ujar Musa saat berbincang di kediaman Soeharto, Jalan Cendana, Menteng, Jakarta belum lama ini.
Pria yang sudah mengabdi puluhan tahun menjadi tukang kebun di rumah Soeharto ini menambahkan, selama ini banyak pihak yang mendatangi rumah Soeharto hanya untuk sekadar memfoto. Bahkan ada juga yang bertanya-tanya seputar Soeharto layaknya wisatawan.
Di hati Musa, Soeharto adalah sosok yang sederhana tak tidak terlalu banyak aturan. Jika sedang berada di rumah, kata dia, Soeharto hanya mengenakan baju koko dan sarung saja. Kesederhanaan Soeharto pun tidak sebatas penampilan, tetapi juga tutur kata dan prilakunya.
“Jujur lebih enak zaman Soeharto daripada sekarang.
Waktu itu mencari kerja tak sulit, tak ada demonstrasi, harga-harga pun murah. Kalau sekarang semuanya tak jelas,” kenang Musa. Sebagaimana diketahui, Soeharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta pada 8 Juni 1921. Selama menjadi presiden, Soeharto banyak memberikan peninggalan kepada masyarakat salah satunya swasembada pangan. Soeharto wafat pada 27 januari 2008 dan dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, Jawa Tengah.
0 comments:
Posting Komentar